Kamis, 18 Oktober 2012

SUKU MANDAILING


SUKU MANDAILING

Batak Mandailing atau sering disebut sebagai Mandailing saja merupakan penduduk asli di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Marga yang digunakan pada sub suku Batak Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Orang-orang keturunan Batak Mandailing masih banyak terdapat di Malaysia terutamanya di Negeri Sembilan, tepatnya di Kg. Kerangai, Kg. Lanjut Manis dan Kg. Tambahtin.




Suku Batak Mandailing dan Angkola bermukim di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidempuan) dan Kabupaten Mandailing Natal (sering disingkat dengan Madina dengan ibukota Penyabungan). Kabupaten ini berdiri sejak tahun 1999 setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapsel.
Terdapat perdebatan tentang apakah orang Mandailing tergolong dalam suku bangsa Batak atau tidak. Sebagian orang berpendapat bahwa orang Mandailing merupakan salah satu puak suku bangsa Batak , tetapi ada pula yang menyatakan Mandailing merupakan suku bangsa terpisah. Pada tahun 1922-1926 terjadi perdebatan di Medan tentang hak orang muslim yang mengaku sebagai Batak untuk dikuburkan di tanah wakaf Mandailing di Sungai Mati, Medan. Mahkamah Syariah Deli memutuskan hanya orang Mandailing yang berhak dikuburkan pada tanah wakaf tersebut. Peristiwa ini dianggap
sebagai salah satu pengukuhan terhadap perbedaan identitas orang Mandailing dan Batak

Daerah Mandailing-Natal (MADINA)

Pada 1992, Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I Sumatra Utara memutuskan pemekaran wilayah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatra Utara. Dalam proses itu, Mandailing dan Natal dinaikkan statusnya menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal. Kini Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri daripada: 
 
-Daerah Tingkat II Kabupaten Angkola Sipirok
 
-Daerah Tingkat II Kabupaten Padang Lawas
 
-Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal
 
-Daerah Tingkat II Kotamadya Padang Sidempuan
 

Prioritas utama pemekaran wilayah itu adalah pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal. Kini Kabupaten Mandailing Natal dikenali sebagai MADINA, persis seperti Madina tempat berdirinya dinul-Islam.

Mandailing Dalam Sejarah 
 
Kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M, menyebut nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".
Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.

Marga-Marga Mandailing

Orang-orang Mandailing mengelompokkan diri mereka dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyangnya sendiri yang "berlainan asal". Pendek kata, masyarakat Mandailing merupakan kesatuan beberapa marga yang berlainan asalnya.
Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo, orang-orang Mandailing yang semarga mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai ini hari. Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungan sudah berapa lama suatu kelompok marga mendiami wilayah Mandailing.
Marga dapat dirumuskan sebagai "kelompok orang yang dari keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapa atua bersifat patrilineal. Semua anggota marga memakai nama marga yang dipakai/dibubuhkan sesudah nama sendiri, dan nama marga itu menandakan bahwa orang yang menggunakannya mempunyai nenek moyang yang sama. Mungkin tidak dapat diperinci rentetan nama para nenek moyang yang menghubungkan orang-orang semarga dengan nenek moyang mereka, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin hubungan darah, dan salah satu pertandanya adalah larangan kahwin bagi wanita dan pria yang mempunyai nama marga yang sama".
Nama marga-marga yang terdapat di Mandailing pada umumnya tidak muncul serentak. Kebiasaannya nama marga muncul dan mulai dipakai pada keturunan ketiga setelah nenek moyang bersama. Ini mungkin kerana pada generasi ketiga keturunan seorang nenek moyang mulai banyak jumlahnya sehingga mereka mulai memerlukan suatu nama identitas, iaitu nama marga.
Ada yang memperkirakan bahwa di Mandailing terdapat 13 marga. Marga-marga itu ialah: 

1. Hasibuan 6. Nasution 10. Matondang
 
2. Dalimunte 7. Rangkuti 11. Batu Bara
 
3. Mardia 8. Parinduri 12. Tanjung
 
4. Pulungan 9. Daulae 13. Lintang
 
5. Lubis

Lumrahnya setiap marga mempunyai nenek moyang yang sama. Tetapi ada juga sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek moyang yang sama. Misalnya, marga Rangkuti dan Parinduri; Pulungan, Lubis dan Harahap; Daulae Matondang serta Batu Bara. Melalui tarombo atau silsilah keturunan dapat diketahui nenek moyang bersama sesuatu marga. Dan dari jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing.
Dari banyak marga tersebut, terdapat dua marga besar yang berkuasa, yang masing-masing menduduki sebuah wilayah luas yang bulat. Marga itu adalah Nasution di Mandailing Godang dan Lubis di Mandailing Julu

Dan didalam tulisan ini, saya mengacu pada kebudayaannya yaitu gordang sambilan.

Gordang Sambilan

Gordang Sambilan (Big Sembilan Drum) adalah warisan budayaMandailing masyarakat dan tidak ada dua budaya etnis dia dilain di Indonesia. Gordang Sambilan diakui oleh pakaretnomusikologi sebagai ansambel musik paling istimewa di dunia.
Bagi masyarakat Mandailing khususnya di masa lalu, GordangSambilan adalah musik tradisional yang paling penting sakral.Gordang Sambilan dianggap sebagai instrumen suci karena itudipercaya memiliki kekuatan gaib hich adalah bisa memanggiljiwa leluhur untuk membuat membantu melalui media atau dukunyang disebut Sibaso.
Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu GordangSambilan ensemble. Instrumen musikal sakral Sopo Godangmenempatkan di (Custom Convention Hall dan Tata Kekaisaran) atau dalam satu gedung khusus bernama Sopo Gordang dekatBagas Godang (perumahan raja). Gordang Sambilan hanya digunakan untuk upacara adat dan perayaan Idul Fitri (hari rayaDari Ramadhan).





 


 TARIAN 




Tarian ini berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera, Indonesia. Menceritakan tentang kecerian gadis-gadis Mandailing yang menari dengan riang gembira di bawah pancaran sinar bulan purnama. Rondang Bulan sendiri berarti "terang bulan".

Lubuk Larangan

Di sepanjang Sungai Batang Gadis ada sebuah bagian yang disebut Lubuk Larangan yang panjangnya kira-kira 1 km. Biasanya dua kali dalam setahun terbuka bagi umum untuk menangkap ikan namun dalam bantuk yang terorganisir. Pada waktu lain dilarang keras untuk menangkap ikan disini. Seseorang yang ingin ikut ambil bagian dalam menangkap ikan harus mendaftarkan dirinya kepada sekretariat dan harus membayar uang pendaftaran. Uang tersebut dipergunakan untuk kepentingan umum dalam komunitas masyarakat tersebut.
Gagasan dibalik lubuk larangan ini adalah untuk menghasilkan pendapatan untuk desa dan pelestarian ikan-ikan langka seperti ikan merah (sejenis jurung).


Add caption












 
Arsitektur & Lanskap

Fungsi Bagas Godang & Sopo Godang
 

 
Bagas Godang (Rumah Raja) senantiasa dibangun berpasangan dengan sebuah balai sidang adat yang terletak di hadapan atau di samping Rumah Raja. Balai sidang adat tersebut dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil sebagaimana jumlah anak tangganya. Untuk melambangkan bahwa pemerintahan dalam Huta adalah pemerintahan yang demokratis, maka Sopo Godang dibangun tanpa didinding. Dengan cara ini, semua sidang adat dan pemerintahan dapat dengan langsung dan bebas disaksikan dan didengar oleh masyarakat Huta. Sopo Godang tersebut dipergunakan oleh Raja dan tokoh-tokoh Na Mora Na Toras sebagai wakil rakyat untuk "tempat mengambil keputusan-keputusan penting dan tempat menerima tamu-tamu terhormat". Sesuai dengan itu, maka bangunan adat tersebut diagungkan dengan nama Sopo Sio Rancang Magodang inganan ni partahian paradatan parosu-rosuan ni hula dohot dongan (Balai Sidang Agung tempat bermusyawarah/mufakat, melakukan sidang adat dan tempat menjalin keakraban para tokoh terhormat dan para kerabat). Biasanya di dalam bangunan ini ditempatkan Gordang Sambilan iaitu alat muzik tradisional Mandailing yang dahulu dianggap sakral (sacred).

Setiap Bagas Godang yang senantiasa didampingi oleh sebuah Sopo Godang harus mempunyai sebidang halaman yang cukup luas. Oleh kerana itulah maka kedua bangunan tersebut ditempatkan pada satu lokasi yang cukup luas dan datar dalam Huta. Halaman Bagas Godang dinamakan Alaman Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang). Sesiapa yang mencari perlindungan dari ancaman yang membahayakan dirinya boleh mendapat keselamatan dalam halaman ini (sanctuary). Menurut adat Mandailing, pada saat orang yang sedang dalam bahaya memasuki halaman nin, ia dilindungi Raja, dan tidak boleh diganggu-gugat.


 

Sesuai dengan fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang, kedua bangunan adat tersebut melambangkan keagungan masyarakat Huta sebagai suatu masyarakat yang diakui sah kemandirannya dalam menjalankan pemerintahan dan adat dalam masyarkat Mandailing. Kerana itu, kedua bangunan tersebut dimuliakan dalam kehidupan masyarkat.
Adat-resam (tradisi) Mandailing menjadikan kedua bangunan adat tersebut sebagai milik masyarkat Huta tanpa mengurangi kemulian Raja dan keluarganya yang berhak penuh menempati Bagas Godang. Oleh kerana itu, pada masa lampau Bagas Godang dan Sopo Godang maupun Alaman Bolak Silangse Utang dengan sengaja tidak berpagar atau bertembok memisahkannya dari rumah-rumah penduduk Huta.

sebagian artikel ini saya ambil dari Sumber:  http://pariwisata-sumut.tripod.com/suku_mandailing.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak_Mandailing

Sekian tulisan saya tentang suku Mandailing.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar